Pahlawan Soeharto: Militerisme, Close Friends dan Rekayasa Stabilitas

kumpulan buku yang saya baca dan pelajari dalam beberapa bulan terakhir sebagai referensi untuk tulisan ini

Malam ini saya sulit tidur. Kemarin, pemerintah kembali memicu perdebatan nasional dengan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Keputusan ini langsung membelah publik menjadi dua: mereka yang menolak karena mengingat pelanggaran HAM, represi politik, dan manipulasi sejarah, dan mereka yang mendukung karena mengingat stabilitas ekonomi, pembangunan, serta ketertiban yang mereka anggap “enaknya jamanku, to…” selama 32 tahun kekuasaannya.

Ketika gelar sebesar itu disematkan pada figur yang begitu kontroversial, ada satu hal mendasar yang perlu diingat: Soeharto tidak hanya memimpin Indonesia, ia “diciptakan” oleh rangkaian kekuatan sejarah, militer, narasi, dan konflik yang membentuk negara modern ini.

Enam buku yang saya baca beberapa bulan terakhir membantu membuka gambaran utuh tentang bagaimana Soeharto dibangun, dipertahankan, dan diwariskan. Saya belum selesai membaca semuanya, tetapi cukup untuk merangkai opini ini, sebuah upaya memahami, bukan menghakimi.

Akar Militerisme:
Soeharto Sebagai Produk ‘Made in Japan’

Dalam kajian David Jenkins, Soeharto digambarkan sebagai bagian dari generasi prajurit Indonesia yang dibentuk oleh pendudukan Jepang. Militer Jepang menciptakan sistem pelatihan yang keras, disiplin, dan sangat hierarkis. Atmosfer itulah yang membentuk cara Soeharto memahami kekuasaan.

Jenkins menyebut bahwa Jepang tidak hanya melatih tentara, tetapi juga “mencetak kader-kader penguasa masa depan” melalui struktur komando yang kaku dan ideologi stabilitas berbasis kontrol.

Soeharto adalah salah satu produk paling berhasil dari sistem itu.

David Van Reybrouck dalam Revolusi memperkuat konteksnya: Indonesia pasca-kolonial adalah dunia penuh kekacauan, ketidakpastian, dan perang.
Generasi Soeharto tumbuh dalam logika sederhana: keteraturan harus diciptakan, bukan dinegosiasikan.

Tidak mengherankan jika selama berkuasa Soeharto lebih percaya pada komando daripada dialog, gaya yang terasa familiar dalam politik kita hari ini, termasuk pada figur yang merupakan bagian dari lingkaran kekuasaannya.

1965: Sejarah yang Kita Kira Kita Tahu

Dalam Propaganda & Genosida di Indonesia, Saskia Wieringa dan Nursyahbani Katjasungkana membongkar bagaimana negara memproduksi narasi resmi tentang 1965. Orde Baru tidak hanya mengalahkan lawan politiknya secara fisik; ia menaklukkan mereka dalam imajinasi bangsa.

Menurut mereka, negara menciptakan apa yang disebut “rekayasa hantu”, sosok musuh yang dilebihkan, didramatisasi, bahkan dikarang, lalu disebarkan melalui film wajib sekolah, media massa, kurikulum, sampai mitos urban tentang kekejaman.

Narasi ini kemudian menjadi fondasi moral bagi Soeharto untuk naik ke tampuk kekuasaan. Dan jika legitimasi Orde Baru lahir dari narasi itu, tidak heran bila pemberian gelar Pahlawan Nasional hari ini masih ditopang oleh narasi serupa: Soeharto sebagai penyelamat dari kekacauan.

Mirip dengan cara sebagian orang menempatkan “pahlawan kesiangan” dalam imajinasi masa kini.

Seni Mengelola Kekuasaan

Dalam Soeharto & Barisan Jenderal Orba, Jenkins menggambarkan Soeharto bukan sebagai “one man show”, tetapi sebagai arsitek koalisi internal militer yang ia bentuk dengan presisi.

Ia memiliki bakat luar biasa membaca manusia: siapa yang ambisius, siapa yang tunduk, siapa yang bisa dipecah, siapa yang harus dijauhkan. Kekuasaannya bertahan 32 tahun bukan karena karisma publik, tetapi karena ia mengendalikan orang-orang yang mengendalikan negara.

Tidak heran sebagian generasi Orde Baru masih menilai Soeharto sebagai simbol ketertiban: stabilitas terasa seperti kewajaran ketika mesin kekuasaannya bekerja sangat terstruktur. Banyak dari sosok itu masih berada di lingkar kekuasaan hari ini, hanya saja tidak selalu muncul di depan panggung.

Demokrasi yang Direkayasa

Aspinall dan Mietzner, dalam Problems of Democratisation in Indonesia, menjelaskan bagaimana Orde Baru menciptakan bentuk demokrasi yang “tampak demokratis namun sepenuhnya dikendalikan”.

Pemilu ada, tapi hasilnya sudah dipastikan.
Partai politik ada, tapi dikerdilkan.
Lembaga negara ada, tapi tunduk.

Aspinall menyebut stabilitas Orde Baru sebagai “stabilitas yang dibangun dari ketakutan, bukan partisipasi.”

Karena itu, ketika Soeharto diberi gelar Pahlawan Nasional, muncul pertanyaan etis yang tak bisa dihindari:

Apakah stabilitas yang dibangun dengan menekan kebebasan layak dirayakan sebagai kepahlawanan?

Damai yang Dipaksakan

Dalam Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia, Syarif Rizal Panggabean menunjukkan bagaimana banyak konflik etnis di bawah Orde Baru tidak diselesaikan, melainkan dipaksa untuk diam.

Tentara berfungsi bukan sebagai mediator, tetapi sebagai penjaga ketertiban.
Kedamaian seperti ini sering dianggap prestasi stabilitas, padahal lebih mirip ketenangan rapuh, atau, meminjam istilah anak sekarang, “unfinished business.”

Ketika Soeharto jatuh, banyak konflik pecah kembali.
Akarnya tidak pernah diobati.
Traumanya diwariskan dari generasi ke generasi.

Jadi, Mengapa Gelar Pahlawan Nasional Ini Menimbulkan Reaksi Keras?

Karena enam aspek pembentukan Soeharto: militerisme Jepang, manipulasi narasi, politik jenderal, demokrasi yang direkayasa, stabilitas represif, dan konflik yang dibekukan, tidak pernah betul-betul diselesaikan dalam memori publik.

Keputusan pemberian gelar ini mengungkap sesuatu yang lebih besar dari sekadar kontroversi politik:

Indonesia belum berdamai dengan sejarahnya sendiri.

Soeharto tidak pernah berdiri sendiri. Ia dibentuk oleh sistem, oleh sejarah, dan oleh narasi yang ia bantu bangun. Enam buku ini menunjukkan bahwa memahami Soeharto berarti memahami bagaimana negara modern Indonesia dibentuk, dengan segala kerapuhan, kekerasan, dan stabilitas semunya.

Ketika negara memberi gelar Pahlawan Nasional kepada seseorang yang begitu membelah memori bangsanya, kewajiban masyarakat hanya satu:
melihat sejarah secara utuh, bukan setengah.

Artikel ini ditulis bukan untuk menghukum atau memuja, tetapi untuk mengingatkan bahwa figur seperti Soeharto tidak lahir dari ruang kosong. Ia adalah produk dari kekuatan yang menciptakan Indonesia yang kita warisi hari ini.

Selamat Hari Pahlawan.


Tanda Tangan Petisimu
Iyas Lawrence

An all-day observer and a part-time listener. A writer in progress.

Previous
Previous

In Indonesia: Innocent until Proven Guilty ❎ Guilty until Proven Innocent ✅

Next
Next

The Myth of Progress